Izinesia.id – Dalam suatu perkara pidana, terkadang kita mendegar Istilah SP-3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan). Pada dasarnya istilah “SP-3” ini mengandung makna bahwa suatu perkara pidana dinyatakan telah dinyatakan dihentikan oleh penyidik (penegak hukum) dengan alasan-alasan yang dibenarkan oleh KUHAP.
Namun, tidak semua perkara pidana dapat dihentikan atau dikeluarkan SP-3. Khusus untuk perkara berkaitan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan penyidikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), maka penyidik tidak boleh (dilarang) menghentikan suatu perkara atau mengeluarkan SP-3. Hal tersebut didasari Pasal 40 UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi ( “UU KPK”) yang menyebutkan :
“Komisi Pemberantasan Korupsi tidak berwenang mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan dalam perkara tindak pidana korupsi.”
Hal tersebut berbeda dengan perkara pidana lainnya yang dimana menurut Pasal 109 ayat (2) KUHAP penyidik tetap dapat menghentikan penyidikan atau mengeluarkan SP-3 dengan alasan:
- Tidak terdapat cukup bukti;
- Peristiwa tersebut ternyata bukan tindak pidana; atau
- Penyidikan dihentikan demi hukum.
Terkait alasan-alasan tersebut diuraikan sebagai berikut :
Untuk mengetahui bukti-bukti yang dikumpulkan penyidik, maka mengacu pada Pasal 184 ayat (1) KUHAP yang menyebutkan alat-alat bukti dalam perkara pidana terdiri dari:
- Keterangan saksi;
- Keterangan ahli;
- Saksi;
- Petunjuk;
- Keterangan terdakwa.
Untuk menetapkan seorang tersangka, maka penyidik wajib didasarkan pada “bukti permulaan” sebagaimana dijelaskan pengertian tersangka dalam Pasal 1 angka 14 KUHAP yang menyebutkan “Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.” Namun, timbul suatu pertanyaan, apakah yang dimaskud dengan “bukti permulaan” tersebut.
Menurut Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 21/PUU-XII/2014 yang dimaksud “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup” dan “bukti yang cukup” dalam KUHAP tersebut adalah “minimal 2 (dua) alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 ayat (2) KUHAP”.
Dari Putusan MK tersebut diatas disimpulkan bahwa penyidik barulah dapat menetapkan tersangka seseorang apabila memiliki 2 (dua) alat bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 184 ayat (2) KUHAP. Sedangkan,apabila penyidik tidak dapat atau dianggap kurang mengumpulkan alat bukti yang dimana tidak mencapai minimal alat bukti, yaitu 2 (dua) alat bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 184 ayat (2) KUHAP, maka penyidikan perkara pidana tersebut dapat dihentikan atau dikeluarkan SP-3 oleh penyidik.
Bagi penyidik, penting untuk menghentikan suatu perkara yang jelas-jelas bukan merupakan suatu tindak pidana, sebab apabila hal tersebut tidak dilakukan maka memiliki konsekuensi putusan hakim di pengadilan dapat menyatakan “terdakwa lepas dari segala tuntutan hukum” atau disebut dengan putusan onslag van recht vervolging. Terkait putusan lepas ini diatur dalam Pasal 191 ayat (2) KUHAP, yaitu:
“Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindakan pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum.”
Dalam praktek, suatu perkara (persitiwa) yang sulit dibedakan apakah masuk dalam perkara pidana atau tidak adalah suatu perkara yang mengandung unsur “perjanjian”. Artinya, pihak pelapor (kreditur) biasanya melaporkan pihak-pihak yang tidak membayar hutangnya (debitur) dengan dugaan melakukan penipuan (378 KUHP) atau penggelapan (372 KUHP). Namun, hal tersebut dapat menimbulkan suatu perdebatan, sebab bisa jadi suatu peristiwa yang di dasarkan pada suatu perjanjian masuk dalam ruang lingkup “perdata” sehingga penyelesaiannya seharusnya diselesaikan melalui mekanisme gugatan perdata wanprestasi di pengadilan, daripada harus diselesaikan melaui proses pidana. Namun tidak jarang suatu peristiwa yang diawali suatu perjanjian masuk dalam ruang lingkup pidana, sehingga penyidik menetapkan seorang tersangka dari perkara tersebut.
Oleh karena itu, agar penyidik dapat menentukan suatu perkara (peristiwa) tersebut merupakan suatu perkara pidana, maka penyidik mengundang ahli untuk di dengarkan keterangannya guna mendapatkan penilaian objektif apakah peristiwa (perkara) tersebut masuk dalam ruang lingkup pidana atau tidak. Namun, apabila penyidik menemukan berdasarkan keterangan ahli bahwa suatu peristiwa yang dilakukan penyidikan tidak masuk dalam suatu perkara pidana, maka penyidikan terhadap perkara tersebut dapat dihentikan dengan mengeluarkan SP-3.
PENYIDIKAN DIHENTIKAN/ DITUTUP DEMI HUKUM
Penyidik memiliki wewenang untuk menghentikan/menutup suatu perkara pidana apabila:
- Tersangka meninggal dunia, artinya apabila tersangka tersebut meninggal dunia, maka penyidik berhak menghentikan perkara tersebut dengan alasan tersangka yang telah meninggal dunia tidak dapat dimintai pertanggungjawabannya secara hukum. Oleh karena itu, penyidikan dihentikan demi hukum.
- Perkara telah kadaluarsa, artinya suatu perkara pidana tidak dapat dilakukan pentuntutan dengan alasan tindak pidana tersebut telah melewati batas waktu atau daluwarsa sebagaimana dapat dilihat pengaturannya dalam Pasal 78 KUHP.
- Pengaduan dicabut, artinya khusus untuk delik aduan dalam KUHP dapat dinyatakan suatu perkaranya dihentikan demi hukum apabila laporan pengaduan tersebut dicabut oleh pelapor. Contoh, seperti perkara perzinahan. Apabila laporan seorang isteri yang melaporkan suaminya melakukan perzinahan dicabut oleh isteri, maka demi hukum perkara tersebut dapat dihentikan.
- Ne bis in idem, artinya seorang tersangka/terdakwa tidak dapat dituntut dalam perkara yang sama apabila perbuatan itu tersangka/terdakwa yang bersangkutan telah pernah diadili dan telah diputus perkaranya oleh hakim di pengadilan yang berwenang serta putusan itu telah memperoleh kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijde).
Penulis : Team Izinesia