pemberian status tanah hgb diatas hpl kepada pihak ketiga bukan macam jenis kepemilikan

Pemberian HGB diatas tanah HPL (hak Pengelolaan)

Izinesia.id – Apabila kita mencermati UUPA, dapat dipastikan “Hak Pengelolaan/HPL” bukanlah termasuk jenis-jenis hak atas tanah yang diatur dalam Pasal 16 UUPA. Namun, banyak yang menafsrikan  “Hak Pengelolaan” merupakan salah satu jenis hak yang disebutkan juga di dalam UUPA walaupun tidak ditegaskan secara eksplisit.

Hak Pengelolaan tersebut ada, sebab terdapat argumen/pendapat yang menyatakan negara memiliki “Hak Menguasai Atas Tanah”. Artinya, negara memiliki hak untuk menguasai sebidang tanah/lahan yang dimana peruntukannya/pemanfaatannya dapat diberikan kepada pihak lain. Namun yang perlu dipahami adalah hak menguasai atas tanah tersebut diwujudkan dengan memberi status kepada terhadap tanah-tanah yang tidak dibebani hak  dengan istilah “tanah negara”. Oleh karena itu, sebagian besar tanah-tanah yang diberikan status “Hak Pengelolaan” adalah tanah negara.

Tanah negara yang diberikan “Hak Pengelolaan” tersebut selanjutnya diberikan (diperuntukan) secara khusus kepada lembaga/instansi pemerintah, pemerintah daerah, BUMN atau BUMD dengan tujuan agar dapat memanfaatkan dengan baik untuk pelaksanaan tugas atau untuk menghasilkan keuntungan seperti diberikan lagi kepada pihak ketiga.

Menurut penulis, apabila suatu lembaga/institusi pemerintah/ daerah, BUMN atau BUMD diberikan suatu “hak pengelolaan” dari negara, maka hak atas tanah tetaplah berada di negara, sedangkan hak untuk pemanfaatan/penggunaan tanah berada pada pada lembaga/institusi pemerintah/ daerah, BUMN atau BUMD tersebut. Oleh karena hak atas tanah tetap berada pada negara, maka negara sewaktu-waktu dapat mencabut hak pengelolaan tersebut apabila pemanfaatan/ penggunaan/ peruntukannya tidak sesuai yang diharapkan oleh negara atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dengan demikian, disimpulkan hak pengelolaan adalah hak menguasai tanah/lahan oleh negara yang dimana hak atas tanah tetap berada pada negara, sedangkan hak untuk memanfaatkan/menggunakan tanah tersebut berada pada lembaga/instansi pemerintah, pemerintah daerah, BUMN atau BUMD.

Hak pengelolaan yang diberikan oleh negara kepada lembaga/instansi pemerintah, pemerintah daerah, BUMN atau BUMD bertujuan:

  1. Digunakan pelaksanaan/ keperluan tugas dari lembaga/instansi pemerintah, pemerintah daerah, BUMN atau BUMD;
  2. Menyerahkan sebagian hak pemanfaatan/penggunaan tanah tersebut kepada pihak ketiga. Sebagai contoh, Hak Pengelolaan (HPL) yang dimiliki oleh BUMN diberikan kepada pihak ketiga (swasta) dengan menerbitkannya Hak Guna bangunan (HGB) diatas Hak Pengelolaan (HPL) milik BUMN;
  3. Memanfaatkan/menggunakan tanah HPL tersebut dengan melakukan kerjasama dengan pihak ketiga (swasta). Namun, pihak ketiga (swasta) yang diajak kerjasama tidak harus dilekati hak atas tanah  seperti HGB diatasnya.

DASAR HUKUM HAK PENGELOLAAN

Sudah dijelaskan sebelumnya bahwa hak pengelolaan tidak disebut secara eksplisit di dalam UUPA. Namun, banyak yang mengatakan penjelasan Umum Angka II Nomor 2 UUPA telah menguraikan jika hak pengelolaan adalah hak yang tetap diakui oleh negara dan undang-undang walaupun tidak disebutkan secara eksplisit.

“Negara dapat memberikan tanah yang demikian itu kepada seseorang atau badan hukum dengan sesuatu hak menurut peruntukan dan keperluannya, misalnya Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai atau memberikannya dalam pengelolaan kepada suatu badan penguasa (Departemen, Jawatan, atau Daerah Swatantra) untuk digunakan bagi pelaksanaan tugasnya masing-masing.”

Istilah hak pengelolaan kemudian ada pertama kali ketika diundangkannya Permen Agraria No. 9 Tahun 1965 yang dimana membagi adanya “hak pakai” dan “hak pengelolaan” yang dapat diberikan kepada instansi/lembaga pemerintah, yaitu:

Pasal II

“Jika hak penguasaan atas tanah negara yang diberikan kepada Departemen-departemen, Direktorat-direktorat, dan Daerah-daerah Swatantra, selain dipergunakan untuk kepentingan instansi-instansi itu sendiri, dimaksudkan juga untuk dapat diberikan dengan sesuatu hak kepada pihak ketiga, maka hak penguasaan atas tanah negara tersebut dikonversi menjadi Hak Pengelolaan.”

Pasca lahirnya Permen Agraria No. 9 Tahun 1965, maka pengaturan mengenai hak pengelolaan banyak diatur dalam berbagai peratura perundang-undangan. 

PEMBERIAN HGB KEPADA PIHAK KETIGA DIATAS TANAH HPL

Apabila merujuk pada Pasal 21 PP 40 tahun 1996, maka salah satu hak atas tanah yang dapat diberikan Hak Guna Bangunan (HGB) adalah Hak Pengelolaan (HPL). Artinya, tanah-tanah dengan status HPL yang dimiliki oleh instansi/ lembaga pemerintah, pemerintah daerah, BUMN atau BUMD diatasnya dapat diberikan Hak Guna Bangunan (HGB).

Pemberian HGB diatas HPL dapat dilakukan mengingat salah satu wewenang dari pemegang HPL adalah bekerja sama dengan pihak ketiga (swasta) untuk memanfaatkan/menggunakan tanah yang dilekati HPL tersebut dengan tujuan menghasilkan suatu keuntungan yang dapat dikembalikan kepada negara. Oleh karena itu, diatas tanah HPL dapat diberikan HGB.

Namun yang perlu dipahami adalah pemberian HGB diatas HPL berbeda dengan pemberian HGB diatas hak milik. Artinya, apabila pemberian HGB diatas hak milik dapat dilakukan dengan “perjanjian pelepasan hak” yang dilakukan melalui transaksi jual beli, sehingga hak milik tersebut dapat hapus/hilang.

Sedangkan, pemberian HGB diatas HPL tidak dapat dilakukan dengan menggunakan perjanjian pelepasan hak, akan tetapi hanya dapat dilakukan menggunakan “Perjanjian Penggunaan Tanah”. Artinya, hak atas tanah tersebut tetap berada di negara dan sebagian wewenangnya dilimpahkan kepada pemegang HPL. Sedangkan Pemegang HGB hanyalah pihak yang diberikan wewenang untuk memanfaatkan tanah milik pemengang HPL tersebut. Dengan kata lain, pemegang HGB  hanya penyewa tanah yang dipegang oleh pemegang HPL. Namun, dalam melakukan penyewaan terhadap tanah HPL diberikan HGB. Oleh karena itu, dibeberapa ketentuan yang diatur dalam Pasal 35 ayat (1) huruf b.2 PP No. 40 Tahun 1996 disebutkan salah satu alasan dihapusnya HGB adalah tidak memenuhi syarat-syarat atau kewajiban-kewajiban yang tertuang dalam Perjanjian Penggunaan Tanah Hak Pengelolaan.

Adapun dasar hukum kewajiban pembuatan “Perjanjian Penggunaan Tanah” antara pemegang HPL dan pemegang HGB adalah diatur dalam Pasal 4 ayat (2) Permen Agraria/Kepala BPN No. 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan.

Pasal 4 ayat (2):

“Dalam hal tanah yang dimohon merupakan tanah Hak Pengelolaan. Pemohon harus terlebih dahulu memperoleh penunjukan berupa perjanjian penggunaan tanah dari Pemegang Hak Pengelolaan.”

Dengan demikian, apabila terdapat HGB diatas tanah berstatus HPL, maka hak atas tanah HPL pada dasarnya tidak beralih kepada pemegang HGB. Akan tetapi yang beralih “hak untuk memanfaatkan tanah tersebut” dikarenakan dasar peralihan HPL menjadi HGB bukanlah “perjanjian pelepasan hak”, akan tetapi “perjanjian penggunaan tanah.”

Dalam melakukan perjanjian penggunaan tanah, pemegang HPL memiliki hak (diskresi) untuk menentukan tarif penggunaan tanah kepada pihak swasta yang menginginkan suatu HGB diatas HPL.

Tarif penggunaan tanah tersebut lahir dan bersumber dari “perikatan” dan bukan bersumber dari “undang-undang”, sehingga penentuan tarif didasarkan pada kesepakatan 2 (dua) pihak antara pemegang HPL dan pihak swasta calon pemegang HGB diatas HPL.

Dalam menentukan tarif penggunaan tanah, sepatutnya pemegang HPL tidak melakukan secara semena-mena terutama ketika jangka waktu HGB milik pihak ketiga habis. Artinya, pemegang HPL dalam menentukan tarif penggunaan tanah-nya penting melibatkan konsultan yang dapat mengukur berapa tarif penggunaan tanah yang rasional yang dapat dikenakan kepada pemegang HGB, sebab pemegang HGB juga perlu diberikan suatu perlindungan hukum terhadap tindakan pemegang HPL yang dapat semena-mena dalam menentukan tarif tersebut.

Selain tarif penggunaan tanah, maka yang perlu diperhatikan dalam peralihan HPL ke HGB adalah adanya “uang pemasukan” yang juga perlu dibayar oleh pemegang HGB ke negara. Artinya, uang pemasukan tersebut lahir bersumber dari undang-undang yang dimana jumlah yang harus dibayarkan telah ditentukan oleh undang-undang.

Uang pemasukan ini diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang diantaranya  (a) PP 40 tahun 1996, (b) Permen Agraria/Kepala BPN No. 9 Tahun 1999 dan (c)  Permen Agraria/Kepala No. 4 Tahun 1998 tentang Pedoman Penetapan Uang Pemasukan Dalam Pemberian Hak Atas Tanah Negara.

Pasal 1 angka 4 PP No. 40 tahun 1996:

“Uang Pemasukan adalah sejumlah uang yang harus dibayar oleh penerima hak pada saat pemberian Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai serta perpanjangan dan pembaharuannya.”

Pasal 1 angka 11 Permen Agraria/Kepala BPN No. 9 Tahun 1999:

“Uang Pemasukan adalah uang yang harus dibayar oleh setiap penerima hak atas tanah negara sesuai ketentuan yang berlaku sebagai pengakuan (recognitie) atas hak menguasai Negara.”

Pasal 5  ayat (1) Permen Agraria/Kepala No. 4 Tahun 1998:

Besarnya uang pemasukan untuk pemberian Hak Guna Bangunan ditetapkan dengan rumus:

 Untuk jangka waktu 30 tahun :

  1. Sampai seluas 200 m2 : 0 % x luas tanah x harga dasar,
  2. Lebih dari 200 m2 sampai 600 m2 : 1 % x luas tanah x harga dasar,
  3. Lebih dari 600 m2 sampai dengan 2000 m2 : 2 % x luas tanah x harga dasar.
  4. Lebih dari 2000 m2 : 3 % x luas tanah x harga dasar.

Untuk jangka waktu kurang dari 30 tahun :

  1. Jangka waktu HGByang diberikan x perhitungan rumus pada 30

Pembayaran terhadap Uang pemasukan dan Tarif Penggunaan Tanah penting dilakukan oleh pemengang HGB, sebab bisa jadi  pemegang HGB tidak mendapatkan rekomendasi untuk melakukan perpanjangan HGB diatas HPL tersebut.

Di atas HPL memang bisa diberikan hak atas tanah, termasuk HGB. Menurut pasal 3 ayat (1) Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 1977 tentang Tata Cara Permohonan dan Penyelesaian Pemberian Hak atas Bagian-Bagian Tanah Hak Pengelolaan Serta Pendaftarannya, penyerahan penggunaan tanah yang merupakan bagian dari tanah HPL kepada pihak ketiga oleh pemegang HPL wajib dilakukan dengan pembuatan perjanjian tertulis antara pihak pemegang HPL dan pihak ketiga yang antara lain memuat tentang jangka waktu pemberian hak atas tanah tersebut serta kemungkinan untuk memperpanjangnya.

 

HGB di atas tanah HPL diperpanjang atau diperbaharui atas permohonan pemegang HGB setelah mendapat persetujuan dari pemegang HPL (lihat pasal 26 ayat [3] PP No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah/”PP 40/1996”). Jadi, untuk perpanjangan/pembaruan HGB tersebut memang harus atas persetujuan pemegang HPL. Akan tetapi, tidak ada jaminan permohonan perpanjangan HGB di atas HPL tersebut pasti akan disetujui oleh pemegang HPL. Jika pemegang HPL tidak memberikan persetujuan, maka jangka HGB tidak diperpanjang/diperbarui. Ini artinya jangka waktu HGB-nya berakhir, dan HGB-nya hapus. Hal ini sesuai dengan pasal 35 ayat (1) huruf a PP 40/1996, yang menyatakan bahwa salah satu alasan hapusnya HGB adalah berakhirnya jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberian atau perpanjangannya atau dalam perjanjian pemberiannya. Tanah yang bersangkutan kembali ke dalam penguasaan sepenuhnya dari pemegang hak pengelolaan yang bersangkutan (lihat pasal 36 ayat [2] PP 40/1996).

 

Mengenai pemegang Hak Milik atas Satuan Rumah Susun (“HMSRS”) yang dibangun di tanah HGB di atas HPL, sepanjang pengetahuan kami belum ada peraturan yang mengatur secara jelas bagaimana status HMSRS-nya jika HGB tersebut habis masa berlakunya. Pakar hukum agraria Boedi Harsono dalam persidangan kasus Apartemen MDC pernah berpendapat bahwa pemilik apartemen masih berhak atas sertifikat yang dimilikinya. Persoalannya adalah apakah perusahaan yang memelihara gedung itu bersedia membayar ganti rugi kepada para pemilik unit apartemen yang memegang sertifikat, apabila nanti terjadi keadaan memaksa (force majeur) atas apartemen tersebut.

 

Penulis : Team Izinesia

Open chat
1
Salam Hormat Kami izinesia.id