pengurusan pembuatan perjanjian perkawinan
Izinesia.id – Sebelum melakukan perkawinan, yang perlu diperhatikan terlebih dahulu adalah apakah perlu untuk membuat suatu “perjanjian perkawinan” atau tidak.
Perjanjian perkawinan biasanya dianggap penting bagi mereka yang melakukan perkawinan dengan prinsip kehati-hatian. Artinya, walaupun suatu perkawinan yang dilakukan diharapkan untuk tidak berujung pada perceraian, akan tetapi dikarenakan akibat itu bisa saja terjadi dikemudian hari, maka perjanjian perjanjian dianggap penting untuk dibuat terlebih dahulu sebelum melangsungkan suatu perkawinan.
Pada dasarnya, perjanjian perkawinan dilakukan dengan tujuan menghindari adanya “pencampuran harta kekayaan” yang berakibat wajibnya harta antara suami dan isteri tersebut dicampurkan, sehingga apabila dikemudian hari terjadi suatu perceraian, maka terhadap harta tersebut wajib dibagi sama rata (gono-gini). Artinya ½ (satu perdua) milik isteri dan ½ (satu perdua) milik suami.
Untuk perempuan yang merasa memiliki kesanggupan mencari nafkah (harta/benda) lebih daripada suaminya, maka hal tersebut dianggap tidak adil dan merupakan suatu kerugian, sebab harta/benda yang diperolehnya lebih banyak daripada suaminya harus dibagi sama rata sebagai akibat adanya pencampuran harta. Demikian juga bagi laki-laki yang merasa memiliki kesanggupan mencari nafkah (harta/benda) lebih akan juga merasa tidak adil karena tiba-tiba harus membagi harta/benda yang diperolehnya selama ini dengan isterinya.
Adapun dasar hukum dari timbulnya “pencampuran harta” sebagai akibat adanya suatu perkawinan adalah sebagai berikut :
Pasal 35 UU No. 1 Tahun 1974:
- Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
- Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Namun, tidak dapat dipungkiri banyak pihak yang juga memanfaatkan untuk melangsungkan perkawinan dengan pihak yang memiliki harta/benda berlebih dengan tujuan suatu hari nanti apabila terjadi suatu perceraian atau kematian terhadap pasangannya tersebut bisa mendapatkan hasil “pencampuran harta kekayaan” tersebut. Sehingga hal tersebut merupakan keuntungan baginya.
Oleh karena itu, untuk melindungi pihak agar dapat dijauhkan dari niat jahat dari pihak lain yang bertujuan melangsungkan perkawinan guna mendapatkan perncampuran harta (gono-gini), serta untuk menghindari timbulya suatu konfik atau pertengkaran/petentangan mengenai pembagian harta yang terus menenus terjadi antara suami dan isteri akibat adanya perceraian , maka negara menyiapkan suatu mekanisme agar akibat hukum “pencampuran harta kekayaan (gono-gini)” tersebut tidak dapat terjadi yaitu dengan cara “membuat perjanjian perkawinan sebelum melangsungkan perkawinan”.
PERKEMBANGAN PENGATURAN PERJANJIAN PERKAWINAN
Dalam perkembangannya, pasca Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan Putusan No. 69/PUU-XIII/2016 tertanggal 18 Oktober 2016, maka saat ini pengertian atau pemaknaan terhadap “perjanjian perkawinan” tidak lagi diartikan hanya dapat dibuat sebelum melangsungkan perkawinan, namun juga dapat dibuat juga setelah dilangsungkan perkawinan. Dalam pertimbangan hukumnya, MK memberikan penjelasan bahwa tujuan dibuatkan perjanjian perkawinan adalah:
- Memisahkan harta kekayaan antara pihak suami dengan pihak istri sehingga harta kekayaan mereka tidak bercampur. Oleh karena itu, jika suatu saat mereka bercerai, harta dari masing-masing pihak terlindungi, tidak ada perebutan harta kekayaan bersama atau gono-gini.
- Atas hutang masing-masing pihak pun yang mereka buat dalam perkawinan mereka, masing-masing akan bertanggung jawab sendiri-sendiri.
- Jika salah satu pihak ingin menjual harta kekayaan mereka tidak perlu meminta ijin dari pasangannya (suami/istri).
- Begitu juga dengan fasilitas kredit yang mereka ajukan, tidak lagi harus meminta ijin terlebih dahulu dari pasangan hidupnya (suami/istri) dalam hal menjaminkan aset yang terdaftar atas nama salah satu dari mereka
Dengan demikian pasca putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, perjanjian perkawinan tidak lagi dimaknai hanya sebagai perjanjian sebelum perkawinan (prenuptial agreement), namun juga dibuat selama ikatan perkawinan (postnuptial agreement).
DASAR HUKUM PERJANJIAN PERKAWINAN
Pasal 29 UU No. 1 Tahun 1974 :
- Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atau persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
- Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.
- Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
- Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga
Pasal 47 Kompilasi Hukum Islam (KHI):
- Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua calon mempelai dapat membuat perjanjian tertulis yang disahkan Pegawai Pencatat Nikah mengenai kedudukan harta dalam perkawinan.
- Perjanjian tersebut dalam ayat (1) dapat meliputi percampuran harta pribadi dan pemisahan harta pencaharian masing-masing sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan hukum Islam.
- Di samping ketentuan dalam ayat (1) dan (2) di atas, boleh juga isi perjanjian itu menetapkan kewenangan masing-masing untuk mengadakan ikatan hipotik atas harta pribadi dan harta bersama atau harta syarikat
Pasal 139 KUHPerdata :
Dengan mengadakan perjanjian kawin, kedua calon suami istri adalah berhak menyiapkan beberapa penyimpangan dari peraturan Undang-undang sekitar persatuan harta kekayaan, asal perjanjian itu tidak menyalahi tata susila yang baik atau tata tertib umum dan asal diindahkan pula segala ketentuan dibawah ini.
Putusan MK No. 69/PUU-XIII/2016
Putusan ini pada dasarnya menyatakan jika perjanjian perkawinan dapat dilakukan tidak hanya sebelum melangsungkan perkawinan, namun juga setelah dilakukan perkawinan, dengan alasan dalam keadaan/alasan tertentu pihak isteri baru dapat merasakan kebutuhan untuk membuat perjanjian perkawinan setelah terjadinya ikatan perkawinan.
Adapun pertimbangan hukum MK adalah sebagai berikut :
“Tegasnya, ketentuan yang ada saat ini hanya mengatur perjanjian perkawinan yang dibuat sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan, padahal dalam kenyataannya ada fenomena suami istri yang karena alasan tertentu baru merasakan adanya kebutuhan untuk membuat Perjanjian Perkawinan selama dalam ikatan perkawinan. Selama ini sesuai dengan Pasal 29 UU 1/1974, perjanjian yang demikian itu harus diadakan sebelum perkawinan dilangsungkan dan harus diletakkan dalam suatu akta notaris. Perjanjian perkawinan ini mulai berlaku antara suami dan isteri sejak perkawinan dilangsungkan. Isi yang diatur di dalam perjanjian perkawinan tergantung pada kesepakatan pihak-pihak calon suami dan isteri, asal tidak bertentangan dengan Undang-Undang, agama, dan kepatutan atau kesusilaan. Adapun terhadap bentuk dan isi perjanjian perkawinan, kepada kedua belah pihak diberikan kebebasan atau kemerdekaan seluas-luasnya (sesuai dengan asas hukum “kebebasan berkontrak”).”
PENCATATAN PERJANJIAN PERKAWINAN
Pada dasarnya isi perjanjian perkawinan yang dibuat tidak dibatasi, sehingga pasangan dapat leluasa untuk membuat perjanjian perkawinan berdasarkan kesepakatan yang dibuat bersama dan didasarkan pada asas kebebasan membuat perjanjian. Namun, untuk dapat mengetahui apa-apa saja isi perjanjian perkawinan yang baik untuk dimuat.
Pengacara nantinya akan memberikan saran dan masukan mengenai perjanjian perkawinan yang baik dibuat berserta isinya, sebab perjanjian perkawinan yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, kesusilaan, kepatutan dan ketertiban umum.
Perjanjian perkawinan yang dibuat oleh pasangan dapat dibuat dibawah tangan atau dengan akta otentik. Apabila dibuat dibawah tangan, maka tidak melibatkan pihak yang berwenang dalam pembuatannya. Sedangkan apabila dibuat dalam bentuk akta otentik melibatkan pihak berwenang seperti notaris.
Apabila perjanjian perkawinan tersebut telah dibuat, maka berdasarkan hukum yang berlaku, perjanjian perkawinan itu harus dicatatkan untuk disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, hal tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 29 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 yang menyebutkan :
“Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atau persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.”
Namun, pasca adanya putusan MK No.69/PUU-XIII/2016 yang membolehkan pembuatan perjanjian perkawinan sebelum perkawinan berlangsung (prenuptial agreement) dan setelah perkawinan dilangsungkan (postnuptial agreement), maka membuat penentu kebijakan (kementerian/lembaga terkati) membuat suatu aturan mengenai pencatatan perkawinan tersebut yang diatur dalam 2 (dua) kebijakan (beleidregels) yaitu :
- Untuk yang melangsungkan perkawinan secara Islam, pencatatan perkawinan-nya didasarkan pada Surat Direktur Jendaral Bimbingan Masyarakat Islam, Kementerian Agama No : B.2674/DJ.III/KW.00/9/2017, Perihal : Pencatatan Perjanjian Perkawinan.
- Untuk melangsungkan perkawinan diluar Islam, pencatatan perkawinan-nya didasarkan pada Surat Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri No : 472.2/586/DUKCAPIL, Perihal : Pencatatan Pelaporan Perjanjian Perkawinan.
Penulis : Team Izinesia