alasan pemberat hukuman pidana seorang terdakwa

Izinesia.id – Suatu rumusan tindak pidana, memuat rumusan tentang :

  1. Subyek hukum yang menjadi sasaran norma tersebut (addressaat norm);
  2. Perbuatan yang dilarang (strafbaar), baik dalam bentuk melakukan sesuatu (commission), tidak melakukan sesuatu (omission) dan menimbulkan akibat (kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan);
  3. Ancaman pidana (strafmaat).

Pemberatan pidana meliputi aspek kualitas maupun kuantitas pidana. Yang dimaksud dengan kualitas di sini apabila pemberatan terjadi karena perubahan dari satu jenis pidana yang lebih ringan kepada jenis pidana lain yang lebih. berat, dengan memperhatikan ketentuan Pasal 69 KUHP. Sedangkan pemberatan dari aspek kuantitas di sini adalah apabila jumlah pidana bertambah dari jumlah pidana yang diancamkan sebelumnya. Pemberatan juga dapat terjadi apabila dalam Hukum Pidana Khusus terjadi spesialitas yang logis apabila dibandingkan dengan rumusan tindak pidana lain yang lebih umum sifatnya, yang diatur dalam suatu Undang-Undang Pidana Khusus. Dalam hal ini, terjadi perubahan jenis dan jumlah ancaman pidana yang ditentukan dalam suatu delik yang satu yang bersifat generalis, apabila dibandingkan dengan delik lain yang dalam suatu perbuatan yang dilarang dan ditambahkan hal – hal lain akan menjadi ketentuan pidana yang bersifat spesialis.

Pola pemberatan pidana merupakan bagian dari pola pemidanaan. Pola pemidanaan (termasuk pola pemberatan pidana) pada dasarnya merupakan suatu gejala yang tersirat dari ancaman pidana yang terdapat dalam rumusan tindak pidana dalam perundang-undangan, yang dapat diketahui kehendak pembentuk undang-undang berkenaan dengan jumlah dan jenis pidana yang semestinya dijatuhkan terhadap seorang yang terbukti melakukan suatu tindak pidana. 

Dengan demikian, pola pemberatan pidana adalah pedoman (yang telah digunakan) pembentuk Undang-Undang dalam menentukan pemberatan pidana terhadap pelaku yang terbukti melakukan tindak pidana, antara rumusan ancaman pidana yang terdapat dalam Hukum Pidana Khusus apabila dibandingkan dengan rumusan delik umum yang mirip dalam KUHP (generic crime) atau kejahatan umum.

Selain itu terdapat pola pemberatan ancaman pidana dalam undang-undang pidana khusus 

  1. Pemberatan umum

Umumnya dalam Undang-Undang Pidana Khusus, delik percobaan, pembantuan dan permufakatan jahat suatu tindak pidana diperberat ancaman pidananya, apabila dibandingkan dengan umumnya delik serupa yang diancamkan dalam KUHP. Perbuatan yang masih dalam tingkat percobaan atau pembantuan dalam KUHP umumnya diancamkan pidana lebih rendah yaitu dikurangi sepertiga (kecuali dalam tindak pidana makar), apabila perbuatan tersebut dilakukan dengan sempurna (vooltoid), yang dalam tindak pidana korupsi dan tindak pidana terorisme hal ini diperberat dengan mengancamkan pidana yang sama seperti jika kejahatan selesai atau diwujudkan oleh pembuat (dader).

  1. Pemberatan kualitas pidana

Pada dasarnya pemberatan ancaman pidana dengan meningkatkan kualita pidana dalam UU Pidana Khusus, dapat dibedakan kedalam dua bagian. Pertama, pemberatan apabila dibandingkan dengan kejahatan yang mirip seperti yang terdapat dalam KUHP. Kedua, pemberatan pidana dalam Undang-Undang Pidana Khusus, karena kekhususan deliknya. Dalam tindak pidana korupsi pemberatan pidana dilakukan karena keadaan tertentu, yang menurut Andi Hamzah, seharusnya keadaan tertentu ini dimuat dalam rumusan delik (Pasal 2 ayat (2) dan tidak ditempatkan dalam penjelasannya.

Pemberatan kuantitas pidana dalam Undang-Undang Pidana Khusus cukup banyak ditemukan apabila dibandingkan antara delik umumnya dalam KUHP dan delik khususnya.

  1. Pemberatan dengan Perubahan Model Ancaman Pidana

KUHP hanya mengenal model pengancaman pidana tunggal atau ancaman pidana alternatif. Artinya, hanya dimungkinkan penjatuhan satu pidana pokok untuk satu delik (single penalty). Namun beberapa Undang – Undang diluar KUHP telah menyimpangi pola umum ini dengan menggunakan model pengancaman kumulatif. Dengan pengancaman kumulatif maka hakim terikat untuk menjatuhkan pidana kedua jenis pidana tersebut sekaligus (double penalties), yang dapat dipandang sebagai pemberatan pidana.

  1. Pemberatan dengan Pengancaman Minimum Khusus

Beberapa undang-undang di luar KUHP menggunakan minimum khusus dalam ancaman pidana, sementara sistem ini tidak dikenal dalam KUHP. Penggunaan model demikian juga dapat dipandang sebagai pemberatan pidana. Dengan sistem ini, undang – undang bukan hanya menentukan ancaman pidana maksimum yang dapat dijatuhkan hakim, tetapi juga minimumnya.Berlawanan dengan sistem KUHP yang tidak memperkenankan minimum khusus, Undang–Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memperkenankan penjatuhan pidana minimum khusus, baik pidana penjara maupun pidana denda. Berdasarkan hal tersebut di atas maka suatu pemberatan pidana dapat dijatuhkan kepada seseorang yang melakukan suatu tindak pidana baik itu umum maupun khusus dan diatur berdasarkan undang-undang yang berlaku. Alasan-alasan penjatuhan pidana berat yang dijatuhkan oleh hakim dalam suatu perkara berdasarkan kepada perbuatan yang dilakukan oleh orang yang melakukan suatu tindak pidana. 

Penulis : Team Izinesia

Open chat
1
Salam Hormat Kami izinesia.id