Izinesia.id – UU Perkawinan tidak menjelaskan secara eksplisit terkait dengan siapa pihak yang berhak mendapatkan hak asuh anak setelah orang tua bercerai. Selain itu, UU Perkawinan juga tidak menjelaskan ukuran (syarat) apa yang dipakai sehingga seorang orang tua dapat mendapatkan hak asuh anak.
Satu satunya aturan yang dijadikan dasar setiap orang tua yang bercerai untuk mendapatkan hak asuh anak adalah “Kompilasi Hukum Islam (KHI)”yang di dalam Pasal 105 berbunyi :
Dalam hal terjadinya perceraian :
- Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya;
- Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaanya;
- Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.
Dari uraian Pasal 105 tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa anak yang belum mencapai 12 (dua belas) tahun, maka akan menjadi hak asuh ibu-nya. Sedangkan apabila telah mencapai diatas 12 (dua belas) tahun, maka akan tersebut akan diberikan kesempatan memilih apakah ikut dengan ibu atau ayahnya.
Sebagai catatan, walaupun anak yang dibawah 12 (dua belas) tahun tersebut hak asuh-nya berada ditangan ibu-nya. Akan tetapi dalam pertimbangan hukum majelis hakim biasanya seorang ayah tetap diberikan kesempatan untuk tetap bertemu dengan anaknya tersebut. Selain itu, ayah juga diberikan kewajiban untuk memberikan nafkah kepada anaknya setiap bulannya berdasarkan putusan hakim.
Apakah ayah masih bisa mendapatkan hak asuh anak terhadap anak dibawah 12 (dua belas) tahun ?
Dalam praktek hukum, terdapat banyak kasus dimana seorang ayah mendapatkan hak asuh anak. Artinya, hakim dapat mengesampingkan Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam (KHI) tersebut. Namun, putusan-putusan tersebut sangat jarang terjadi, sebab memerlukan alasan-alasan yang rasional dan objektif sehingga hakim menerimanya.
Alasan-alasan yang mungkin dapat mengesampingkan Pasal 150 KHI, sehingga hakim memberikan hak asuh anak kepada ayah adalah sebagai berikut :
- Ibu dari anak tersebut dalam keadaan tidak normal (gila / tidak waras),
- Ibu dari anak tersebut sering mabuk-mabukan dan keluar malam,
- Ibu dari anak tersebut positif memakai narkoba,
- Ibu dari anak tersebut mengidap penyakit yang membahayakan apabila anak, serta
- Ibu dari anak tersebut meninggalkan anak dengan jangka waktu yang lama.
Alasan-alasan diatas, wajib dibuktikan secara objekif di pengadilan. Sebagai contoh, apabila seorang ibu dalam keadaan tidak normal (gila/tidak waras) maka harus dibuktikan dengan diagnosa dokter, atau apabila ibu tersebut positif narkoba, maka harus dibuktikan dengan pembuktian tertulis juga dari dokter. Apabila bukti yang dihadirkan lemah, maka dapat dipastikan hak asuh anak tetap berada di ibu-nya.
Hak Asuh Anak Menurut KHI
Sedangkan dalam hukum Islam, aturan hak asuh anak yang perceraian orang tuanya diputus oleh Pengadilan Agama tercantum di Pasal 105 Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) yang menyatakan:
Dalam hal terjadinya perceraian:
- Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya;
- Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya;
- Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.
Selanjutnya akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:
- anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dan ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh:
- wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu;
- ayah;
- wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah;
- saudara perempuan dari anak yang bersangkutan;
- wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.
- anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari ayah atau ibunya;
- apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula;
- semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dapat mengurus diri sendiri (21 tahun);
- bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, Pengadilan Agama memberikan putusannya berdasarkan huruf (a), (b), dan (d);
- pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya.
Penulis : Team Izinesia