Teori pembuktian hukum pidana
Izinesia.id – Pada dasarnya pembuktian dalam perkara pidana berbeda dengan pembuktian dalam perkara perdata. Dalam perkara pidana pembuktian memiliki tujuan untuk mencari kebenaran materil, yaitu kebenaran sejati (sesungguhnya). Sedangkan pembuktian dalam perkara perdata memiliki tujuan untuk mencari kebenaran formil, yaitu hakim tidak boleh melewati batas-batas permintaan diajukan oleh para pihak yang berperkara. Jadi hakim dalam mencari kebenaran formal cukup membuktikan dengan ‛preponderance of evidence‛, sedangkan hakim pidana dalam mencari kebenaran materiil, maka peristiwanya harus terbukti (beyond reasonable doubt).
Apabila dilihat dari aspek teori, terdapat 4 (empat) teori pembuktian, yaitu:
- Pembuktian menurut undang-undang secara positif (positive wetteljik bewijstheorie).
Pada dasarnya teori ini menyatakan pembuktian yang benar hanyalah berdasar undang-undang. Artinya, hakim hanya diberikan kewenangan dalam menilai suatu pembuktian hanya berdasarkan pertimbangan undang-undang, sehingga menyingkirkan semua pertimbangan subjektif hakim dalam menilai suatu pembuktian diluar undang-undang.
- Pembuktian berdasarkan keyakinan hakim saja (conviction intime).
Menurut teori ini, suatu pembuktian untuk menentukan salah atau tidaknya terdakwa semata-mata hanya dinilai berdasarkan keyakinan hakim. Seorang hakim tidak terikat oleh macam-macam alat bukti yang diatur dalam undang-undang. Hakim dapat memakai alat bukti tersebut untuk memperoleh keyakinan atas kesalahan terdakwa atau mengabaikannya. Alat bukti yang digunakan hakim hanya menggunakan keyakinan yang disimpulkan dari keterangan saksi dan pegakuan terdakwa.
- Pembuktian berdasarkan keyakinan hakim secara logis (conviction raisonnee).
Teori ini menekankan kepada keyakinan seoranng hakim berdasarkan alasan yang jelas. Artinya, kika sistem pembuktian conviction intime memberikan keluasan kepada seorang hakim tanpa adanya pembatasan darimana keyakinan tersebut muncul, sedangkan pada sistem pembuktian conviction raisonnee merupakan suatu pembuktian yang memberikan pembatasan keyakinan seorang hakim haruslah berdasarkan alasan yang jelas. Hakim wajib menguraikan dan menjelaskan atas setiap alasa-alasan apa yang mendasari keyakinannya atas kesalahan seorang terdakwa.
- Pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif (negatief wettellijk bewijs theotrie).
Teori ini merupakan suatu percampuran antara pembuktian conviction raisonnee dengan sistem pembuktian menurut undang-udanng secara positif (positive wetteljik bewijstheorie). Teori ini mengajarka bahwa salah atau tidaknya seorang terdakwa ditentukan keyakinan hakim yang didasarkan kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.
Apabila melihat 4 (empat) teori diatas, maka hukum acara pidana di Indonesia menganut sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif (negatief wettellijk bewijs theotrie) dengan didasarkan pada Pasal 183 KUHAP yang menyatakan :
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
Bahwa dari uraian Pasal 183 KUHAP tersebut dinyatakan, hakim memutus perkara pidana (menyatakan salah terhadap terdakwa) apabila didukung 2 (dua) alat bukti (teori positive wetteljik bewijstheorie) dan memperoleh keyakinan bahwa keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya (teori conviction raisonnee). Jadi terdapat penggabungan teori positive wetteljik bewijstheorie dan teori conviction raisonnee, sehingga dapat dikatakan KUHAP menganut ajaran teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif (negatief wettellijk bewijs theotrie).
Adapun 2 (dua) alat bukti yang dijadikan pertimbangan hakim diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, yaitu:
- Keterangan saksi;
- Keterangan ahli;
- Surat;
- Petunjuk;
- Keterangan Terdakwa.
Pembuktian dalam Peradilan Pidana Pengertian pembuktian sangat beragam, setiap ahli hukum memiliki definisi masing-masing mengenai pembuktian. Banyak ahli hukum yang mendefinisikan pembuktian ini melalui makna kata membuktikan. Membuktikan menurut Sudikno Mertokusumo158 disebut dalam arti yuridis yaitu memberi dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan. Lain halnya dengan definisi membuktikan yang diungkapkan oleh Subekti. Menyatakan bahwa membuktikan adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan. Berdasarkan definisi para ahli hukum tersebut, membuktikan dapat dinyatakan sebagai proses menjelaskan kedudukan hukum para pihak yang sebenarnya dan didasarkan pada dalil-dalil yang dikemukakan para pihak, sehingga pada akhirnya hakim akan mengambil kesimpulan siapa yang benar dan siapa yang salah. Proses pembuktian atau membuktikan mengandung maksud dan usaha untuk menyatakan kebenaran atas sesuatu peristiwa, sehingga dapat diterima akal terhadap kebenaran peristiwa tersebut. Pembuktian mengandung arti bahwa benar suatu peristiwa pidana telah terjadi, terdakwalah yang bersalah melakukannya, sehingga harus mempertanggung jawabkannya Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang dan boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan. Hukum pembuktian merupakan sebagian dari hukum acara pidana yang mengatur macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum, sistem yang dianut dalam pembuktian, syarat-syarat dan tata cara Mengajukan bukti tersebut serta kewenangan hakim untuk menerima, menolak dan menilai suatu pembuktian. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tidak memberikan penjelasan mengenai pengertian pembuktian. KUHAP hanya memuat peran pembuktian dalam Pasal bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. dan jenis-jenis alat bukti yang sah menurut hukum, yang tertuang dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP yaitu :
- keterangan saksi;
- keterangan ahli;
- surat;
- petunjuk; dan
- keterangan terdakwa.
Adapun jenis- jenis sistem pembuktian menurut KUHP adalah: a). Sistem Atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Semata (Conviction In Time) Sistem ini menganut ajaran bahwa bersalah tidaknya-tidaknya terhadap perbuatan yang didakwakan, sepenuhnya tergantung pada penilaian “keyakinan” hakim semata-mata. Jadi bersalah tidaknya terdakwa atau dipidana tidaknya terdakwa sepenuhnya tergantung pada keyakinan hakim. Keyakinan hakim tidak harus timbul atau didasarkan pada alat bukti yang ada. Sekalipun alat bukti sudah cukup kalau hakim tidak yakin, hakim tidak boleh menjatuhkan pidana, sebaliknya meskipun alat bukti tidak ada tapi kalau hakim sudah yakin, maka terdakwa dapat dinyatakan bersalah. Akibatnya dalam memutuskan perkara hakim menjadi subyektif sekali. Kelemahan pada sistem ini terletak pada terlalu banyak memberikan kepercayaan kepada hakim, kepada ken-kesan perseorangan sehingga sulit untuk melakukan pengawasan. Keyakinan hakim tidak perlu didukung alat bukti sah karena memang tidak diisyaratkan, Meskipun alat-alat bukti telah ditetapkan oleh undang-undang tetapi hakim bisa menggunakan alat-alat bukti di luar ketentuan undang-undang. Yang perlu mendapat penjelasan adalah bahwa keyakinan hakim tersebut harus dapat dijelaskan dengan alasan yang logis. Keyakinan hakim dalam sistem pembuktian convition in raisone harus dilandasi oleh “reasoning” atau alasan-alasan dan alasan itu sendiri harus ‘reasonable” yakni berdasarkan alasan-alasan yang dapat diterima oleh akal dan nalar, tidak semata-mata berdasarkan keyakinan yang tanpa batas. Sistem pembuktian ini sering disebut dengan sistem pembuktian bebas. Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Positif (Positif Wettwlijks theode). Sistem ini ditempatkan berhadap-hadapan dengan sistem pembuktian conviction in time, karena sistem ini menganut ajaran bahwa bersalah tidaknya terdakwa didasarkan kepada ada tiadanya alat-alat bukti sah menurut undang-undang yang dapat dipakai membuktikan kesalahan. Teori positif wetteljik sangat mengabaikan dan sama sekali tidak mempertimbangkan keyakinan hakim. Jadi sekalipun hakim yakin akan kesalahan yang dilakukan terdakwa, akan tetapi dalam pemeriksaan di persidangan pengadilan perbuatan terdakwa tidak didukung alat bukti yang sah menurut undang-undang maka terdakwa harus dibebaskan. Umumnya bila seorang terdakwa sudah memenuhi cara-cara pembuktian dan alat bukti yang sah menurut undang-undang Maka terdakwa tersebut bisa dinyatakan bersalah dan harus dipidana. Kebaikan sistem pembuktian ini, yakni hakim akan berusaha membuktikan kesalahan terdakwa tanpa dipengaruhi oleh nuraninya sehingga benar-benar obyektif karena menurut cara-cara dan alat bukti yang di tentukan oleh undang-undang kelemahannya terletak bahwa dalam sistem ini tidak memberikan kepercayaan kepada ketetapan kesan-kesan perseorangan hakim yang bertentangan dengan prinsip hukum acara pidana. Sistem pembuktian positif yang dicari adalah kebenaran format, oleh karena itu sistem pembuktian ini digunakan dalam hukum acara perdata. Positief wettelijk bewijstheori systeem di benua Eropa dipakai pada waktu berlakunya Hukum Acara Pidana yang bersifat Inquisitor. Peraturan itu menganggap terdakwa sebagai objek pemeriksaan belaka; dalam hal ini hakim hanya merupakan alat perlengkapan saja.
Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Secara Negatif (negative wettelijk). Menurut teori ini hakim hanya boleh menjatuhkan pidana apabila sedikit-dikitnya alat-alat bukti yang telah di tentukan undang-undang itu ada, ditambah dengan keyakinan hakim yang didapat dari adanya alat-alat bukti itu. Dalam pasal 183 KUHAP menyatakan sebagai berikut : ” hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah Ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Atas dasar ketentuan Pasar 183 KUHAP ini, maka dapat disimpulkan bahwa KUHAP memakai sistem pembuktian menurut undang-undang yang negatif. Ini berarti bahwa dalam hal pembuktian harus dilakukan penelitian, apakah terdakwa cukup alasan yang didukung oleh alat pembuktian yang ditentukan oleh undang-undang (minimal dua alat bukti) dan kalau ia cukup, maka baru dipersoalkan tentang ada atau tidaknya keyakinan hakim akan kesalahan terdakwa.
Teori pembuktian menurut undang-undang negative tersebut dapat disebut dengan negative wettelijk istilah ini berarti : wettelijk berdasarkan undang-undang sedangkan negative, maksudnya adalah bahwa walaupun dalam suatu perkara terdapat cukup bukti sesuai dengan undang-undang, maka hakim belum boleh menjatuhkan hukuman sebelum memperoleh keyakinan tentang kesalahan terdakwa. Dalam sistem pembuktian yang negatif alat-alat bukti limitatief di tentukan dalam undang-undang dan bagaimana cara mempergunakannya hakim juga terikat pada ketentuan undang-undang. Dalam sistem menurut undang-undang secara terbatas atau disebut juga dengan system undang-undang secara negative sebagai intinya yang dirumuskan dalam Pasal 183, dapat disimpulkan sebagai berikut :
a) Tujuan akhir pembuktian untuk memutus perkara pidana, yang jika memenuhi syarat pembuktian dapat menjatuhkan pidana;
b) Standar tentang hasil pembuktian untuk menjatuhkan pidana. Kelebihan sistem pembuktian negatif (negative wettelijk) adalah dalam hal membuktikan kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, hakim tidak sepenuhnya mengandalkan alat-alat bukti serta dengan cara-cara yang ditentukan oleh undang-undang, tetapi harus disertai pula keyakinan bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana. Keyakinan yang dibentuk ini harus berdasarkan atas fakta-fakta yang diperoleh dari gat bukti yang ditentukan dalam undang-undang. Sehingga dalam pembuktian benar-benar mencari kebenaran yang hakiki. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, jadi sangat sedikit kemungkinan terjadinya salah putusan atau penerapan hukum yang digunakan. Kekurangan teori ini hakim hanya boleh menjatuhkan pidana apabila sedikit-dikitnya alat-alat bukti yang telah di tentukan undang-undang itu ada, ditambah dengan keyakinan hakim yang didapat dari adanya alat-alat bukti itu sehingga akan memperlambat waktu dalam membuktikan bahkan memutuskan suatu perkara, karena di lain pihak pembuktian harus melalui penelitian. Tetapi dengan mencari kebenaran melalui penelitian tersebut, maka kebenaran yang terungkap benar-benar dapat dipertanggung jawabkan, dan merupakan kebenaran yang hakiki. Dalam pembuktian pidana terdapat beberapa prinsip yaitu : Hal-hal yang dimuat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Prinsip ini terdapat pada Pasal 184 ayat (2) KUHAP yang berbunyi: “Hal-hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan atau disebut dengan istilah notoke feiten. Secara garis besar fakta yaitu:
Sesuatu atau peristiwa yang diketahui umum bahwa sesuatu atau peristiwa tersebut memang sudah demikian halnya atau semestinya demikian. Berdasarkan KUHAP, keterangan satu saksi bukan saksi tidak berlaku bagi pemeriksaan cepat. Hal ini dapat disimpulkan dari penjelasan Pasal 184 KUHAP sebagai berikut: “Dalam acara pemeriksaan cepat, keyakinan hakim cukup didukung satu bukti yang sah”.
Penulis : Team Izinesia