Suami poligami bisa dipenjara?
izinesia.id – Di Negara Indonesia perkawinan / pernikahan adalah sesuatu yang sakral, sehingga negara perlu mengaturnya dalam suatu peraturan perundang-undangan yaitu UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Untuk mengakui suatu perawinan di Indonesia, maka terdapat 2 (dua) syarat:
- Perlu ada pengakuan dari agama yang dianut. Artinya, perkawinan tersebut wajib dilangsungkan berdasarkan hukum agama masing-masing;
- Perlu ada pengakuan dari negara. Artinya, perkawinan yang telah dilangsungkan berdasarkan hukum agama, selanjutnya perlu dicatatkan oleh negara sebagai bentuk perlindungan negara terhadap suatu perkawinan yang telah dilangsungkan.
Pada dasarnya di Indonesia menganut sistem pernikahan monogami. Artinya, seorang pria hanya boleh memiliki seorang isteri dan seorang wanita hanya boleh memiliki seorang suami (Pasal 3 ayat (1) UU No. 1/1974). Namun, dikarenakan menikah adalah hak asasi, termasuk menikah lebih dari 1 kali, maka Pasal 3 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 tetap memberikan kemungkinan khusunya bagi pria yang ingin memiliki istri lebih dari 1 (satu) sepanjang memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan undang-undang.
Menurut Pasal 4 dan Pasal 5 UU No. 1 Tahun 1974, seorang suami dapat memiliki isteri lebih dari 1 apabila terlebih dahulu telah meminta izin pengadilan dan mendapatkan persetujuan isteri pertama atau isteri-isterinya.
Oleh karena itu, tanpa adanya izin pengadilan dan persetujuan istri pertama, seorang suami tidak dapat melangsungkan perkawinan yang akan diakui oleh negara. Maka dari itu, apabila terdapat seorang pria yang melakukan perkawinan kembali (poligami) tanpa izin pengadilan dan persetujuan isteri pertama dapat dikatakan perkawinan yang dilangsungkan tetap diakui secara agama, namun belum diakui secara negara.
Dari pernyataan diatas timbul sebuah pertanyaan, apakah terdapat konsekuensi hukum kepada seorang pria yang melakukan perkawinan poligami yang diakui oleh agama, tetapi belum diakui oleh negara karena tidak mendapatkan persetujuan isteri pertama ?
Dikarenakan UU No. 1 Tahun 1974 hanya mengakui perkawinan sah yang apabila telah dilangsungkan secara agama dan telah dicatatkan oleh negara, maka apabila terdapat sebuah perkawinan yang dilangsungkan seorang pria yang telah beristeri namun belum mendapatkan persetujuan dari isteri pertamanya, hal tersebut dapat dinilai perkawinan yang dilangsungkan tidak sah menurut hukum negara. Oleh karena itu, perkawinan tersebut tidak pernah dianggap ada menurut negara serta pria tersebut dimungkinkan dikenakan sanksi pidana yang tertuang dalam Pasal 279 KUHP yang berbunyi:
- Diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun:
- Barang siapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinannya yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu;
- Barang siapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinan pihak lain menjadi penghalang untuk itu.
- Jika yang melakukan perbuatan berdasarkan ayat 1 butir 1 menyembunyikan kepada pihak lain bahwa perkawinan yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
- Pencabutan hak berdasarkan pasal No. 1 – 5 dapat dinyatakan.
Selain itu, Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2016 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung 2016 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Pengadilan telah menegaskan, yaitu :
“Perkawinan yang dilangsungkan oleh seorang suami dengan perempuan lain sedangkan suami tersebut tidak mendapatkan izin istri untuk melangsungkan perkawinan lagi, maka Pasal 279 KUHPidana dapat diterapkan.”
Dengan dasar hukum diatas, maka seorang isteri yang menemukan suaminya menikah lagi dengan perempuan lain, namun pernikahan yang dilangsungkan tersebut belum mendapat izin dari saudara sebagai isteri pertamanya, maka dapat melakukan upaya hukum dengan melaporkannya ke pihak yang berwajib (kepolisian) dengan dasar Pasal 279 KUHP dengan ancaman 5 (lima) tahun perjara.
Penulis : Team Izinesia