Status anak luar nikah
Izinesia.id – Wajib perlu di ketahui bahwa anak yang lahir diluar pernikahan yang sah secara keperdataan hanya mempunyai hubungan dengan ibunya. Hal ini dikarenakan hukum perkawinan Indonesia yang diatur dalam UU No. 1/1974 tidak mengatur hubungan keperdataan antara anak yang dilahirkan diluar nikah dengan sang ayah.
Pasal 43 ayat (1) UU No. 1/1974 :
“Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.”
Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam (KHI):
“Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya.”
Dalam perkembangannya, Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Putusannya Nomor 46/PUU-VIII/2010 memutuskan jika anak diluar nikah memiliki hak keperdataan tidak hanya dengan ibunya namun juga dengan ayah kandungnya.
MK memutuskan bahwa:
Pasal 43 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”;
Dengan adanya Putusan MK tersebut, maka sepanjang anak tersebut dapat membuktikan dirinya berdasarkan ilmu pengetahuan atau teknologi merupakan anak yang sah dari seorang laki-laki, maka dia memiliki hubungan keperdataan tidak hanya dengan ibunya, namun juga dengan laki-laki sebagai ayahnya.
Dari putusan MK timbul sebuah pertanyaan, jika anak tersebut dapat membuktikan dirinya memiliki hubungan keperdataan dengan seorang laki-laki yang diduga ayahnya, maka apakah anak tersebut dapat menuntut hak keperdataan seperti hak waris dari laki-laki yang diduga ayahnya ?
Sebenarnya hal ini sulit dijawab sebab hukum kewarisan Indonesia telah menganur mengenai pihak-pihak yang berhak mendapatkan warisan atau sebagai ahli waris yang sah. Sehingga sulit untuk memastikan apakah anak diluar nikah dapat menuntut hak keperdataannya sebagai ahli waris atau tidak.
Namun, apabila ingin mencobanya, maka anak atau walinya dapat mengajukan gugatan ke pengadilan terhadap laki-laki yang diduga ayah kandungnya serta pihak-pihak terkait guna mendapatkan pengesahan sebagai ahli waris yang sah berdasarkan adanya putusan MK.
Pergaulan bebas antara muda-mudi yang banyak terjadi sekarang ini, seringkali membawa kepada hal-hal yang negatif yang tidak dikehendaki, seperti hubungan seks luar nikah dan hamil luar nikah. Hal ini disebabkan oleh adanya pergesekan budaya, sehingga pada saat ini menggejala dimasyarakat adanya hidup bersama antara seorang pria dan wanita tanpa adanya ikatan perkawinan. Anak yang lahir di luar nikah mendapatkan julukan dalam masyarakat sebagai anak haram, hal ini menimbulkan gangguan psikologis bagi anak, walaupun secara hukum anak tersebut tidak mempunyai akibat hukum dari perbuatan orang tuanya, namun banyak persoalan yang muncul akibat hamil luar nikah tersebut, seperti hubungan nasab antara anak dengan bapak biologisnya, dan lain sebagainya dari berbagai perspektif hukum. Pasal 43 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan menyebutkan bahwa kedudukan anak dalam ayat (1) selanjutnya akan diatur dalam peraturan pemerintah tersendiri, namun sampai dengan saat ini pemerintah belum juga mengeluarkan peraturan pemerintah tentang kedudukan anak luar kawin sedangkan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan tidak mengatur tentang kedudukan anak luar kawin, sehingga sampai sekarang persoalan tentang kedudukan anak luar kawin pengaturannya masih terkatung-katung karena Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan hanya menyebutkan tentang hubungan keperdataannya saja sedangkan terhadap hak-haknya yang harus dilindungi sebagai seorang manusia tidak mendapat pengaturan yang jelas dan terperinci. Sebagai akibat dari hubungan perdata dengan pihak ibu dan keluarga ibunya, anak tersebut hanya akan mendapatkan hak waris dari ibu dan keluarga ibunya saja, termasuk segala bentuk pemeliharaan sampai anak itu dewasa hanya menjadi tanggungjawab ibunya. Sekilas saja ketentuan tersebut mengandung ketidakadilan bagi si ibu dan anaknya, karena untuk membenihkan anak tersebut dalam rahim ibunya pasti ada peran dari pihak laki-laki sebagai ayah biologisnya. Lalu karena si ayah tidak mengakui atau tidak kawin dengan si perempuan itu, maka hubungan keperdataannya menjadi terputus dengan si ayah, padahal hubungan hukum tersebut sangat diperlukan oleh si anak untuk bisa menuntut hak pemeliharaan yang wajar seperti halnya anak-anak yang lain pada umumnya.
Putusan Mahkamah Konstitusi dengan nomor perkara 46/PUU-VIII/2010 yang mengabulkan uji materi pasal 43 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan mendobrak kebakuan hukum dan menjadi solusi bagi permasalahan tersebut dan dianggap merupakan langkah progresif dari negara dalam menyikapi perlakuan diskriminatif pada anak-anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah. Anak-anak tidak dapat dilibatkan dalam penanggungan resiko atas perbuatan dosa yang dilakukan oleh kedua orang tuanya, sehingga hak-hak anak tidak boleh dicederai. Hak-hak tersebut meliputi Hak anak sebelum dan sesudah di lahirkan, Hak anak dalam kesucian keturunannya, Hak anak dalam menerima pemberian nama yang baik, Hak anak dalam menerima susuan, Hak anak dalam mendapatkan asuhan, perawatan dan pemeliharaan, Hak anak dalam pemilihan harta benda atau hak warisan demi kelangsungan hidupnya, Hak anak dalam bidang pendidikan dan pengajaran.
Namun dalam praktiknya, implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi ini tidak berlaku secara optimal, khususnya di pengadilan agama. Perdebatan di kalangan cendikiawan muslim baik dari kalangan praktisi (hakim) maupun akademisi, mengenai status dan hak keperdataan anak luar kawin masih menjadi faktor yang menjadikan putusan ini tidak berlaku secara prima. Hal ini disebabkan putusan ini dinilai berbenturan dengan norma hukum Islam yang secara tegas berupaya menjaga murninya nasab (hifzan-nasl) dan juga adanya pendapat yang menyatakan bahwa pengesahan anak luar kawin bukanlah kewenangan pengadilan agama. Status Anak Luar Kawin Prinsip pengaturan tentang anak luar kawin dalam hubungan kekeluargaan dengan ayah dan ibunya mendapatkan pengaruh yang sangat besar dari asas perkawinan monogami yang dianut KUH Perdata. Pasal 280 KUH Perdata menganut prinsip bahwa hubungan keperdataan antara anak luar kawin dengan orang tua biologisnya tidak terjadi dengan sendirinya. Konsekuensinya seorang anak yang tidak mendapatkan pengakuan dari orang tuanya maka secara yuridis anak tersebut tidak memiliki orang tua.
Khusus untuk anak yang lahir dari perzinaan dan anak sumbang (hasil penodaan darah) maka berdasarkan ketentuan pasal 272 dan 283 KUH Perdata kedudukannya tidak dapat disahkan baik dengan pengakuan orang tuanya maupun dengan ikatan perkawinan kecuali sebagaimana ditetapkan dalam pasal 273 KUH Perdata. Pengakuan anak luar kawin merupakan suatu perbuatan hukum yang melahirkan status hukum baru (konstitutif) karena dengan adanya pengakuan maka muncullah status hukum baru anak dalam hukum perdata. Implikasi dari status hukum baru ini adalah timbulnya hak waris dan hak keperdataan lainnya. Kedudukan anak dalam KUH Perdata dibedakan menjadi anak sah dan anak luar kawin. Pasal 250 KUH Perdata menyebutkan bahwa anak yang sah adalah anak yang lahir atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan. Dilahirkan sepanjang perkawinan berarti anak tersebut lahir setelah pernikahan terjadi. Sedangkan anak yang ditumbuhkan sepanjang perkawinan berarti anak yang ditumbuhkan dalam ikatan perkawinan yang apabila terjadi perceraian baik cerai hidup maupun cerai mati, maka anak tersebut tidak kehilangan statusnya sebagai anak yang sah. Undang-Undang Perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan yang diakui adalah perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya dan dicatatkan di instansi pemerintah yang menangani bidang tersebut. Akibat dari perkawinan yang tidak tercatat tersebut, maka perkawinan tersebut tidak mendapat pengakuan, perlindungan dan kepastian hukum dari negara. Hal ini berdampak pada status anak yang lahir dari perkawinan ini yang disebut sebagai anak yang tidak sah dan hanya mempunyai hubungan keperdataan dengan ibunya saja. Namun apabila dapat dibuktikan di Pengadilan bahwa anak tersebut adalah anak biologis dari ayah yang menghamili ibunya (putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010) maka anak tersebut berkedudukan sebagai anak biologis dari laki-laki tersebut dan memiliki hubungan keperdataan dengan ayah biologisnya tersebut. Hukum Islam jauh hari telah mengatur mengenai status dan hak anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah.
Terkait status anak luar kawin, Hukum Islam telah mengatur perihal nasab. Nasab merupakan salah satu elemen pokok dalam maqashid syari’ah yang harus dijaga. Kemurnian nasab dalam hukum Islam memiliki peran vital sebab Hukum Islam sangat terkait dengan struktur keluarga, baik hukum perkawinan maupun kewarisan dan berbagai derivasinya yang meliputi hak perdata dalam Islam
Demikian pula dalam rangka penyelenggaraan perlindungan anak, negara dan pemerintah bertanggung jawab menyediakan fasilitas dan aksesibilitas bagi anak, terutama dalam menjamin pertumbuhan dan perkembangannya secara optimal dan terarah. Secara normatif Pasal 28B ayat (2) menyebutkan setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Waluyadi mengemukakan, hak-hak anak diantaranya adalah sebagai berikut: Hak untuk mendapatkan perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat, dan negara; Hak anak sejak dalam kandungan untuk hidup, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf kehidupannya; Hak anak sejak kelahirannya atas suatu nama dan status kewarganegaraan; Hak anak yang cacat fisik dan/atau mental untuk memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus atas biaya negara, untuk menjamin kehidupannya sesuai dengan martabat kemanusiaan, meningkatkan rasa percaya diri, dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; Hak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat intelektualitas dan usianya di bawah bimbingan orang tua dan atau wali; Hak untuk mengetahui siapa orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri; Hak untuk dibesarkan, dipelihara, dirawat, dididik, diarahkan, dan dibimbing kehidupannya oleh orang tua atau walinya sampai dewasa dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; Hak untuk mendapatkan orang tua angkat atau wali berdasarkan putusan pengadilan apabila kedua orang tua telah meninggal dunia atau karena suatu sebab yang sah tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai orang tua. Hak berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari segala bentuk kekerasan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual selama dalam pengasuhan orang tua atau walinya, atau pihak lain maupun yang bertanggung jawab atas pengasuh anak tersebut. Dalam hal orang tua, wali, atau pengasuh anak melakukan segala bentuk penganiayaan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual termasuk pemerkosaan, dan atau pembunuhan terhadap anak yang seharusnya dilindungi, maka harus dikenakan pemberatan hukuman. Pada kasus anak luar kawin, stigma negatif yang melekat padanya tentu mengganggu perkembangan mental dan jiwa. Terlebih secara yuridis, anak yang lahir di luar perkawinan yang tidak sah hanya mendapatkan hubungan nasab dan hubungan keperdataan dengan ibunya saja. Artinya, laki-laki yang menyebabkan kelahirannya terbebas dari segala kewajiban-kewajiban yang menjadi hak anak tersebut. Sedangkan si anak tersebut akan mengalami kerugian psikologis, dikucilkan masyarakat, kesulitan biaya pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan lahiriah lainnya. Melalui putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dapat terpenuhi haknya sebagai anak biologis sehingga pertumbuhan dan perkembangannya tidak terganggu. Kompromi melalui Pemberian Hak Keperdataan Secara Terbatas Mahkamah Konstitusi mempunyai beberapa kewenangan, di antaranya yang paling banyak mendapat perhatian adalah kewenangan mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD NRI 1945. Hal ini dikenal dengan istilah judicial review. Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Undang-Undang Mahkamah Konstitusi) menegaskan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final. Putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 merupakan salah satu produk judicial review. Putusan ini sempat menjadi bahan perbincangan dan diskusi menarik di kalangan akademisi, praktisi dan masyarakat luas saat itu mengingat putusan tersebut mendobrak kebakuan hukum positif yang selama ini tidak memberikan akses pemenuhan hak keperdataan kepada anak luar kawin. Jika dianalisa secara lebih seksama, putusan ini bertentangan dengan hifz an-nas yang merupakan salah satu elemen pokok dalam maqashid syariah, sebab dengan pemberian status dan hak keperdataan pada anak luar kawin akan berdampak pada sakralitas nasab sebagaimana ditetapkan hukum syar’i. Namun pengabaian terhadap hak anak tentunya merupakan tindakan yang juga menciderai hak asasi manusia dan dalam tataran tertentu juga dapat berbenturan dengan hifz an-nafs. Oleh sebab itu perlu penafsiran yang lebih komprehensif dan holistik melalui istinbath hukum maqashid syariah yang terintegrasi dan tidak bersifat parsial (bisa diterima oleh lima maqashid syariah). Perlindungan anak tidak melulu menjadi alibi dalam mengabaikan tujuan perlindungan terhadap nasab agar tidak ada destruksi terhadap koridor munakahat Islam.
Berdasarkan metode ini, maka diperlukan adanya kategorisasi terhadap status dan hak keperdataan anak diperlukan agar tidak ada benturan antara hukum Islam dan hak asasi manusia. Kategorisasi ini dapat berbentuk penjabaran jenis hak keperdataan melalui regulasi formal meliputi: nasab, jaminan waris, jaminan perwalian, dan jaminan kesejahteraan. Selain itu, penjabaran dapat dilakukan pada kategorisasi anak meliputi: anak sah dan anak dengan ayah biologis. Hal ini dilakukan agar laki-laki yang menghamili seorang perempuan tidak serta merta terbebas dari kewajiban terhadap anak akibat perbuatannya dan pemenuhan hak sipil anak terkait dengan pembuatan akta kelahiran dapat diakomodir oleh administrasi negara. Selama ini, belum ada pengaturan yang mengakomodir hak-hak anak di luar kawin berdasarkan kategorisasi semacam ini. Namun jika menganalisa lebih dalam, Fatwa MUI No. 11 Tahun 2012 tentang Status Anak Zina dan Perlakuan Terhadapnya menjadi salah satu referensi ideal. Sebab fatwa ini tidak memberikan status dan hak keperdataan terhadap anak zina sebagaimana diatur dalam hukum Islam, namun melalui lembaga ta’zir hak-hak keperdataan anak luar kawin dapat terpenuhi dengan pembebanan biaya penghidupan anak dan juga wasiat wajibah untuk anak tersebut.[18] Pemenuhan hak anak secara terbatas ini dapat diimplementasikan dalam putusan pengadilan dengan mempertimbangkan kearifan dan kebijaksanaan hakim. Kesimpulan Anak merupakan anugerah Tuhan dan merupakan generasi penerus perjuangan bangsa, negara dan agama. Setiap anak memiliki hak yang sama untuk kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan. Tidak terkecuali bagi anak yang lahir di luar perkawinan yang sah, dimana anak tersebut wajib terpenuhi hak-haknya sebagai seorang anak. Terlepas dari pro kontra status dan hak keperdataan anak luar kawin, pemenuhan hak anak merupakan kewajiban orang tua dan negara dan merupakan upaya perlindungan hak anak. Namun pemenuhan tersebut tidak boleh bertentangan dengan Maqashid Syariah. Pemenuhan hak-keperdataan secara terbatas dapat diberikan kepada anak luar kawin dengan memberikan ta’zir kepada ayah biologisnya untuk memenuhi kebutuhan hidup anak serta memberikan harta kepada anak selepas ia meninggal melalui lembaga wasiat wajibah. Selain itu, terkait dengan hak sipil dan status anak dalam pembuatan akta kelahiran, diperlukan kategorisasi dalam administrasi kependudukan yang dapat memberikan hak keperdataan anak luar kawin sebagaimana disebutkan di atas.
Penulis : Team Izinesia