arti kesepahaman perjanjian mou
Izinesia.id – MOU atau memorandum of understanding adalah suatu bentuk perjanjian yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih yang dicantumkan dalam suatu dokumen formal. MOU bukanlah suatu dokumen yang sifatnya terikat badan hukum.
Tapi, dengan adanya perjanjian yang dilakukan secara tertulis ini, maka kedua belah pihak atau lebih tersebut secara jelas menyatakan bahwa mereka ingin bekerjasama untuk menjalankan suatu program.
Di Indonesia sendiri, MOU ini lebih dikenal dengan sebutan nota kesepakatan, nota kesepahaman perjanjian pendahuluan atau perjanjian kerjasama. Sementara itu, kitab undang-undang hukum perdata juga ternyata tidak mencatat adanya hukum maupun peraturan terkait MoU atau nota kesepakatan.
Meskipun begitu, dilansir dari laman resmi Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), dijelaskan bahwa sebenarnya banyak sekali surat perjanjian yang didasarkan pada ketentuan di pasal 1338 KUH Perdata atau Pasal 13120 terkait syarat sahnya suatu perjanjian.
Pembuatan MOU ini bisa dinilai sebagai titik awal dalam hal negosiasi karena berisi penjelasan terkait apa saja yang bisa dilakukan dan tujuan dari diselenggarakannya kegiatan tersebut. MOU juga bisa ditemukan dalam berbagai perjanjian bisnis maupun berbagai agenda formal lain.
Jadi pada dasarnya, MOU bukanlah suatu dokumen yang mempunyai kekuatan yang sifatnya mengikat. Namun, dalam dunia bisnis, nota kesepahaman ini seringkali diklaim sebagai suatu kontrak dan juga memiliki kekuatan yang mengikat secara moral.
Hal tersebut akan membuat siapapun yang terlibat dalam perjanjian untuk tidak bisa membatalkan apa saja yang sudah disepakati dengan mudah.
Apabila dilihat dari aspek hukum, MOU tidak dikenal dan tidak diatur dalam KUHPerdata. Akan tetapi, perkembangan yang terjadi dalam praktek menunjukkan jika MoU sudah menjadi kebiasaan bagi para pelaku bisnis untuk membuatnya sebelum melakukan penandatanganan perjanjian/kontrak jangka Panjang dalam suatu bisnis. Oleh karena tidak diatur dalam KUHPerdata serta tidak ada larangan untuk membuat MoU, maka dalam hukum perdata pembuatan MoU memiliki sifat fakultatif. Artinya, dapat dibuat dan dapat juga tidak dibuat, tergantung kesepakatan para pihak yang akan melakukan perjanjian/kontrak.
Sebenarnya terdapat suatu undang-undang yang mengenal istilah “MOU” tersebut adalah UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, dikarenakan di dalam penjelasan umumnya disibutkan isitilah “MoU” dan Letter of Intent (“LoI”). Namun, apabila mencermati UU No. 24 Tahun 2000 tersebut, maka dapat diartikan MOU atau LoI tersebut ditujukan untuk persetujuan pendahuluan sebelum melakukan perjanjian internasional dalam hukum publik yang diatur dalam hukum Internasional.
Setidaknya terdapat beberapa alasan mengapa suatu subjek hukum (orang pribadi atau badan hukum) sebelum melakukan penandatanganan perjanjian/kontrak terlebih dahulu membuat MOU, yaitu sebagai berikut:
- Karena prospek bisnisnya belum jelas benar, sehingga belum bisa dipastikan apakah deal kerja sama tersebut akan ditindaklanjuti;
- Karena penandatanganan kontrak masih lama dengan negosiasi yang alot. Karena itu, daripada tidak ada ikatan apa-apa sebelum ditandatanganinya kontrak tersebut, maka dibuatlah MOU yang akan berlaku untuk sementara waktu;
- Karena masing- masing pihak dalam perjanjian masih ragu- ragu dan masih perlu waktu untuk berfikir dalam hal menandatangani suatu kontrak, sehingga untuk pedoman awal dibuatlah MOU;
- MoU dibuat dan ditandatangani oleh pihak eksekutif (Direktur) dari suatu perusahaan tanpa memperhatikan hal detail terlebih dahulu dan tidak dirancang dan dinegosiasi khusus oleh staf-stafnya yang lebih rendah tetapi lebih menguasai teknis;
- Untuk mengikat para pihak lainnnya terhadap berbagai persoalan, untuk menemukan dan mempelajari tentang beberapa persoalan;
- Untuk menghindari kesulitan dalam pembatalan. Jika para pihak belum terlalu yakin terhadap pokok- pokok yang disepakati.
- Untuk membuat perjanjian atau kontrak yang terperinci ada kemungkinan diperlukan waktu yang lama, oleh karena itu dibuatlah Memorandum of understanding yang berlaku untuk sementara waktu.
Selain itu, adapun ciri-ciri dari MOU tersebut adalah sebagai berikut:
- Bentuk dan isinya terbatas;
- Untuk mengikat pihak lainnya terhadap berbagai persoalan;
- Untuk menemukan dan mempelajari beberapa persoalan;
- Bersifat sementara dengan batas waktu tertentu yang ditentukan ;
- Dapat digunakan sebagai dasar untuk mendatangkan keuntungan selama tercapainya kesepakatan;
- Menghindari timbulnya tanggung jawab;
- Sebagai dasar untuk membuat perjanjian bagi kepentingan berbagai pihak, baik itu kreditur, investor, pemerintah, pemegang saham dan lainlain;
- Mempunyai jangka waktu berlakunya, misalnya satu bulan, enam bulan, atau satu tahun. Apabila dalam jangka waktu tersebut tidak ditindaklanjuti dengan penandatanganan suatu perjanjian yang lebih rinci, maka perjanian tersebut akan batal, kecuali diperpanjang oleh para pihak;
- Biasanya dibuat dalam bentuk perjanjian bawah tangan saja;
- Biasanya tidak ada kewajiban yang bersifat memaksa kepada para pihak untuk harus membuat suatu perjanjian yang lebih detail setelah penandatanganan MoU, walaupun secara reasonable kedua belah pihak tidak punya rintangan untuk membuat dan menandatangani perjanjian yang detail tersebut.
Untuk mengetahui sejauhmana kekuatan hukum dari pemberlakukan suatu MoU tersebut, maka dapat dilihat dari 2 (dua) aspek, yaitu :
- Gentlemen Agreement
Pendapat ini mengajarkan bahwa MOU hanyalah suatu gentlement agreement. Artinya, kekuatan mengikat dari suatu MOU tidak memiliki kekuatan yang sama dengan perjanjian biasa, walapun MoU tersebut dibuat dalam bentuk yang paling kuat (akta otentik) seperti dengan akta notaris sekalipun. Bahkan MoU diartikan mengikat sebatas pada pengakuan moral belaka yang berarti tidak punya daya ikat secara hukum.
- Greement is Agreement
Ada juga pihak yang berpendapat bahwa sekali suatu perjanjian dibuat, apapun bentuknya, Lisan atau tertulis, Panjang atau pendek, lengkap atau detail ataupun hanya pokok-pokoknya saja, maka tetap saja merupakan perjanjian dan karenanya mempunyai kekuatan hukum mengikat layaknya suatu perjanjian, sehingga seluruh ketentuan pasal-pasal tentang hukum perjanjian telah bisa diterapkan kepadanya. Menurut pendapat ini, alasan yuridis yang tepat bagi penggunaan MOU terdapat dalam pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, bahwa “seluruh persetujuan yang dibuat sesuai Undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Artinya, MOU yang telah disepakati bersama merupakan undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Penulis : Team Izinesia